Mungkin pada tanggal 5 September 2020 lalu kamu sudah melihat makin banyak berita tentang Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja yang diresmikan. Di media sosial juga banyak berseliweran informasi kontroversial dan non-kontroversial tentang ini.
Rukita ingin membantu membagikan fakta tentang Omnibus Law agar kamu punya gambaran besarnya mengapa ramai dibicarakan. Sebagai milenial dan Gen Z, nih, kita juga perlu memahami tentang undang-undang yang diusulkan dan disahkan oleh negara karena selalu berdampak bagi kehidupan, terutama penduduk usia produktif.
RUU Cipta Kerja mulai berkumandang sejak awal tahun 2020. Lalu, apa saja yang terjadi selama 8 bulan ini? Yuk, teruskan membaca fakta dan infonya di bawah ini!
Rancangan UU Cipta Kerja pertama kali disampaikan oleh Presiden Jokowi pada tanggal 7 Februari 2020. Beliau juga memperkenalkan bahwa ada 10 Menteri yang bekerja sama untuk pembahasan RUU ini. Pembahasan juga dilakukan bersama Badan Legislasi DPR RI melalui Panitia Kerja RUU Cipta Kerja sejak 20 Mei 2020.
Rapat Paripurna pembahasan RUU ini dimulai sejak tanggal 5 Oktober lalu yang dipercepat dari jadwal awal, yaitu 8 Oktober 2020. Rapat Paripurna DPR RI ini akhirnya mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-undang dengan dukungan 7 fraksi (PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, dan PAN) dan penolakan 2 fraksi (Demokrat dan PKS).
DPR sangat rajin dalam membahas RUU ini, bahkan pandemi tidak menghalanginya. Pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan sebanyak 64 kali pertemuan dari April 2020 di dalam maupun luar ruangan, dari pagi hingga tengah malam.
Cakupan materi UU Cipta Kerja sangatlah luas, awalnya ada 79 UU yang akan diubah, namun menjadi 76 UU. UU Cipta Kerja ini terdiri atas 1.000 halaman, 15 bab, dan 174 pasal. Secara garis besar UU ini mencakup:
Presiden Jokowi memprakarsai Omnibus Law untuk memudahkan kegiatan usaha di Indonesia dan menarik investor asing. Hal ini diharapkan bisa membantu Indonesia menjadi negara ekonomi terbesar di Asia Tenggara.
Pebisnis banyak yang menyambut baik RUU ini karena fokus kepada perampingan izin usaha. Hal ini membuat Indonesia lebih terbuka untuk investasi asing dan membuat pasar tenaga kerja juga lebih fleksibel.
Seperti yang disebutkan di sub-bab sebelumnya, RUU ini mengubah 76 undang-undang yang terdiri atas 174 pasal. Indonesia memang selama ini memiliki terlalu banyak regulasi dengan total 43.511 peraturan sehingga Omnibus Las merupakan ‘solusi pengerucutan’.
Ada beberapa bab dan pembahasan di Omnibus Law yang layaknya diketahui oleh para milenial dan Gen Z. Sebenarnya ada lebih banyak poin-poin yang menarik lagi, tetapi nanti kamu bisa cari tahu sendiri, ya.
Ada beberapa perubahan mengenai ketenagakerjaan yang dibahas dalam UU Cipta Kerja. Beberapa hal yang dibahas mengenai ketenagakerjaan adalah:
Pasal mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) akan dihapus dan dikhawatikan akan menyebabkan pekerja dikontrak seumur hidup. Namun, akhirnya Pasal 59 tidak jadi dihapus dalam UU Cipta Kerja.
Dalam Pasal 59 disebutkan:
Ayat (1) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
Ayat (2) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
Ayat (3) Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Ayat (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Akan ada penambahan jam kerja tergantung pada kebijakan perusahaan. Akan ada ketentuan waktu kerja paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, sedangkan tidak ada aturan tentang jumlah hari kerja.
Namun, pasal ini akhirnya dikembalikan seperti aturan pada UU Ketenagakerjaan. Pada Pasal 77 Ayat (2) disebutkan, waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Namun, Pasal 78 tentang pengaturan waktu lembur yang dikeluhkan buruh tidak diubah hingga RUU disahkan.
Pada Pasal 78 Ayat (1) bagian b disebutkan, jam lembur paling banyak 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sebelumnya dalam UU Ketengakerjaan maksimal jam lembur adalah 3 jam dalam 1 hari dan 14 jam dalam satu minggu.
Dalam RUU Cipta Kerja, upah minimum sektoral akan dihilangkan tapi tidak akan menghapus ketentuan terkait upah minimum provinsi maupun upah minimum kabupaten/kota. Upah minimum juga tidak dapat ditangguhkan, tidak seperti dalam UU Ketenagakerjaan selama ini.
Pada Pasal 88E Ayat (1) disebutkan, upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan. Sedangkan pada Pasal 88 E Ayat (2) ditegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum.
Dengan begitu, tidak ada lagi buruh yang boleh diberi gaji di bawah upah minimum. Kenaikan upah minimum menggunakan formulasi pertumbuhan ekonomi daerah dan produktivitas yang diatur dalam Pasal 88D Ayat (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum.
Pasal ini mengatur tentang pesangon yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bunyi Pasal 156 Ayat (1) “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Pasal ini dipermasalahkan lantaran aturan nilai maksimal pesangon yang diberikan mengalami penurunan dari sebelumnya sebanyak 32 kali upah dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13/2003, menjadi hanya 25 kali di UU Cipta Kerja.
Pembayarannya terdiri atas pesangon setara 19 kali upah menjadi beban perusahaan dan 6 lainnya diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan dalam bentuk Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Pembayaran nilai maksimal 19 kali upah tersebut tercantum pada Pasal 156. Pada Ayat (2) disebutkan bahwa uang pesangon untuk masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih yaitu 9 (sembilan) bulan upah. Sedangkan pada Ayat (3), disebutkan uang penghargaan untuk masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih adalah 10 (sepuluh) bulan upah.
Dalam Pasal 42 RUU Cipta Kerja, tenaga kerja asing (TKA) diperbolehkan bekerja di Indonesia, tanpa pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) dari pemerintah pusat. Kemudahan RPTKA ini bagi TKA ahli yang memang diperlukan untuk kondisi tertentu.
Pada Ayat (1) disebutkan, setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat. Namun, pada Ayat (3) disebutkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) tidak berlaku bagi:
a. direksi atau komisaris dengan kepemilikan saham tertentu atau pemegang saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pegawai diplomatik dan konsuler pada kantor perwakilan negara asing; atau
c. tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh pemberi kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.
Omnibus Law secara signifikan melonggarkan standar lingkungan untuk kegiatan bisnis yang memerlukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). RUU tersebut mengubah Pasal 23 dalam UU 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang menjabarkan kriteria yang harus diikuti oleh bisnis untuk meminta Amdal sebelum beroperasi.
Kriteria tersebut meliputi perubahan lanskap alam, eksploitasi sumber daya, pencemaran, dampak sosial budaya, konservasi dan warisan budaya, risiko keamanan, tumbuhan dan hewan, dan lain-lain. Omnibus Law menetapkan bahwa hanya bisnis yang “berdampak penting terhadap lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya” yang memerlukan Amdal.
Lebih lanjut, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah kegiatan usaha yang membutuhkan Amdal tidak dapat lagi mengajukan banding atas dokumen tersebut, menurut amandemen Pasal 26 UU 32/2009. Pakar lingkungan juga tidak akan lagi terlibat dalam analisis dampak lingkungan.
Panitia penilai Amdal yang terdiri atas instansi lingkungan hidup, instansi teknis terkait, pakar lingkungan dan teknis, organisasi lingkungan hidup dan perwakilan masyarakat, dicabut dalam RUU tersebut.
Sekarang, setidaknya kamu tahu, deh, sedikit demi sedikit tentang UU Cipta Kerja. Silakan menggali lebih lanjut tentang undang-undang ini, agar kamu mengerti perkembangan dan pembahasannya. Untuk mengetahui UU ini lebih lanjut, ya, kamu juga bisa baca draft final UU Cipta Kerja di sini.
Setelah membaca gambaran besarnya, bagaimana pendapatmu tentang Omnibus Law? Silakan tinggalkan pendapatmu di kolom komentar, ya.
In this post, we'll explore various HTML elements and how you can style them effectively…
Introduction to Styling in WordPress In this post, we'll explore various HTML elements and how…
Mengenal weton Rabu Pahing untuk laki-laki dan wanita, dari watak, rezeki, garis hidup dan jodoh…
Apa saja manfaat minyak zaitun untuk rambut rontok dan bagaimana cara penggunaannya? Yuk, simak penjelasannya…
Macam-macam kurma terbaik dan berbagai manfaatnya untuk kesehatan. Ada apa saja? Yuk, cek di sini.