Beberapa bulan yang lalu hampir sepertiga negara di dunia melakukan lockdown untuk menekan laju Covid-19. Transportasi dikurangi, orang-orang bekerja di rumah, sampah mulai berkurang, dan nampaknya dampak Covid-19 bagi lingkungan cukup baik.
Minggu ini pun Jakarta sangat cerah dan langitnya sangat biru yang menandakan polusi udara sangat menurun. Ya, hampir di seluruh dunia polusi udara berkurang, contohnya polusi udara New York turun sekitar 50%!
Menurunnya polusi dan emisi gas rumah kaca secara global pun memunculkan pertanyaan: Apakah dampak positif Covid-19 bagi lingkungan hidup bisa bertahan lama atau hanya saat ini saja? Apakah momentum ini bisa membuat emisi karbon terus turun?
Menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia atau World Environment Day (WED) yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni, yuk, ketahui apa saja dampak Covid-19 bagi lingkungan kita selama ini.
Sayangnya, penurunan emisi ini juga diakibatkan oleh menurunnya kegiatan ekonomi. Banyak perusahaan gulung tikar dan pemecatan terjadi di mana-mana. Tentu kita ingin adanya pelestarian lingkungan, penurunan karbon, dan peningkatan kesejahteraan hidup, kan?
Pada akhir Februari 2020, dampak lumpuhnya industri transportasi dan bisnis membuat level Nitrogen dioksida (NO2) di Tiongkok menurun. Namun, kualitas udara belum tentu langsung pulih.
South China Morning Post juga melaporkan pada bulan yang sama bahwa polusi udara tidak sehat malah mengumpul di Bejing. Angin yang pelan, kelembapan tinggi, dan kuatnya inversi panas menjebak polusi tetap menempel di udara. NASA juga menunjukkan bahwa ada banyaknya muatan aerosol terkandung di udara.
Carbon Brief melaporkan bahwa industri-industri penting di Tiongkok beroperasi kurang dari biasanya. Konsumsi rata-rata batu bakar pada pembangkit listrik juga menjadi sangat rendah yang menyebabkan penurunan Carbon dioksida (CO2) sebanyak 25% dalam dua minggu.
Sayangnya, nih, penurunan CO2 ini sebenarnya kalau ditotal hanya menurunkan 1% emisi karbon dalam satu tahun. Eits, lebih baik turun 1% daripada tidak sama sekali, kan? Untuk sementara ini memang kita baru melihat sedikit kontribusi Covid-19 bagi lingkungan.
Nggak heran kalau jalan raya di kota-kota besat lebih kosong setelah lockdown, social distancing, dan PSBB dilakukan secara besar-besaran. Di Tiongkok sendiri, tuh, penerbangan domestik menurun sebanyak 60-70%.
Secara global, ya, dalam minggu ke-3 bulan April, FlightRadar24 dan OAG melaporkan bahwa ada penurunan penerbangan sekitar 50% dibandingkan waktu yang sama pada tahun lalu.
Kendaraan bermotor dan pesawat berkontribusi sebanyak 72% dan 11% dari emisi gas rumah kaca dalam bidang transportasi. Mengurangi keduanya terlebih kendaraan bermotor akan membantu upaya penurunan karbon sebanyak 8% setiap tahunnya.
Dengan berkurangnya penerbangan dan aktivitas transportasi lain tentu kita mengharapkan adanya penurunan emisi gas rumah kaca. Emisi karbon dari penerbangan sendiri sudah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1990-2009 dengan jumlah 915 juta ton CO2 di tahun 2019 saja.
Sayangnya, penurunan transportasi hanya bersifat sementara, tuh. Tak lama lagi semua orang akan kembali beraktivitas di jalan. Orang bisa saja melampiaskan kebosanan cabin fever dan keinginan traveling sesudah ini.
Kemungkinan selama belum ada vaksin, tuh, orang akan menghindari traveling. Namun, ketika vaksin sudah ditemukan atau virus sudah berhasil lenyap, kemungkinan orang akan kembali melakukan perjalanan sesering dulu. Kalau begini, sih, jelas jumlah emisi karbon akan kembali meningkat.
Untuk transportasi darat, ya, mengganti kendaraan dengan kendaraan elektronik atau sepeda bisa menjadi pilihan untuk jangka panjang, pemerintah juga harus bisa mendesain kota agar jalan memudahan bagi pengendara sepeda maupun pejalan kaki.
Jepang dan Swis membuktikannya, tuh! Ketika orang diberi akses e-bike gratis atau menutup jalanan kendaraan bermotor dalam jangka waktu lama ternyata masyarakat dapat menghentikan kebiasaan membawa kendaraan pribadi.
Jadi, Covid-19 bisa menjadi sarana latihan untuk memulai gaya hidup baru yang lebih berkelanjutan.
Angka penurunannya kurang signifikan seperti diakui oleh IRENA (International Renewable Energy Agency). IRENA berekspektasi bahwa penurunan emisi tahunan akan mencapai angka 6-8%.
Penurunan ini tidak akan begitu terasa efeknya bagi konsentrasi karbon dunia. Untuk merasakan efek naik turunnya kadar CO2, dunia harus mampu menurunkan minimal 10% emisi karbon per tahun. Apalagi jika penurunan karbon karena Covid-19 diduga hanya terjadi untuk sementara saja.
Perubahan kualitas polusi udara dan menurunnya emisi karbon tergantung dari gaya hidup masyarakat. Kalau kita mau mengubah gaya hidup agar lebih berkelanjutan atau sustainable, kemungkinan penurunan emisi juga bisa berlangsung untuk jangka waktu lebih panjang.
Ke depannya, nih, kita harus lebih awas terhadap pola konsumsi dan traveling jarak jauh. Namun, untuk mengurangi emisi hingga 8% seperti target dunia, nih, nggak bisa dilakukan hanya dengan cara mengurangi transportasi selama 3 bulan.
Penelitian yang dilakukan oleh Center for Climate and Energy Solution menunjukkan bahwa penurunan emisi terbesar disebabkan oleh menurunnya aktivitas industri. Industri dan manufaktur menyumbang 18,4% emisi anthropogenic global.
FYI, saat resesi 2008, emisi bisa menurun 1,3%, namun waktu ekonomi pulih, naiknya bahkan melebihi angka sebelumnya!
Kita memerlukan aksi transformasi sistematis di skala domestik dan internasional. Kita harus tahu perubahan besar yang bisa dilakukan dalam jangka waktu panjang demi mengurangi emisi cukup drastis. Orang tidak bisa bekerja secara individu untuk menurunkan gas emisi, namun harus bergerak secara kelompok.
Beberapa kota di dunia sudah memanfaatkan Covid-19 untuk membuat rancangan infrastruktur yang lebih ramah lingkungan. Contohnnya, Milan mengalokasikan jalan sepanjang 35 km untuk jalur sepeda dan pejalan kaki, sementara Brussel juga mengalokasikan 40 km.
Peran Covid-19 bagi lingkungan tidak hanya bisa membantu menurunkan emisi karbon, namun sekaligus menunjukkan bahaya dari polusi bagi kesehatan. Polusi udara daerah yang buruk bisa meningkatkan angka kematian setinggi 15%, contohnya daerah Utara memiliki angka kematian lebih tinggi karena buruknya kualitas udara.
Pascapemulihan pandemi nanti, kota Amsterdam juga melaksanakan ‘doughnut model’ yang merupakan model ekonomi berkelanjutan secara sosial dan lingkungan hidup.
Covid-19 menjadi momentum untuk melaksanakan kebijakan pelestarian lingkungan yang selama ini direncanakan oleh kota-kota besar dunia, namun sulit dilakukan. Krisis ini bisa membantu perubahan kebijakan berjalan lebih cepat.
Harapannya, sih, dengan adanya Covid-19 orang menjadi sadar akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Di sisi lain indusri juga mau mengurangi penggunaan energi karbon. Namun, bisa saja kita semua malah melakukan ‘balas dendam’ dan angka emisi karbon malah melambung.
Contohnya ketika resesi 2008 di mana emisi bahan bakar karbon turun sekitar 1,4%, namun di tahun 2010 naik menjadi 5,9%! Krisis karena Covid bisa memiliki dampak jangka panjang bagi lingkungan dan kehidupan manusia, jadi bisa saja menggagalkan upaya global untuk mengatasi perubahan iklim.
Tahun ini semestinya diadakan pertemuan puncak iklim Cop26 yang akhirnya diundur jadi tahun depan. Semestinya, tuh, 196 negara akan memperkenalkan rencana dan gagasan mereka untuk menurunkan emisi karbon sesuai Perjanjian Paris 2015.
Banyak pertemuan internasional tentang iklim harus diundur karena pemerintah masih memprioritaskan mitigasi Covid-19. Hal ini menunjukkan bagaimana perubahan iklim bukan merupakan prioritas kebanyakan negara. Padahal perubahan iklim bisa menjadi penyebab pandemi.
Banyak negara juga kini meminta penundaan untuk program perdagangan karbon karena mereka masih memikirkan dampak ekonomi yang menghantam industri, infrastruktur, dan ekonomi Jadi, bisa saja upaya penurunan karbon 8% per tahun sebelum 2050 akan gagal akibat pandemi Corona.
Referensi:
Dampak dari krisis Covid-19 terhadap iklim dan lingkungan semuanya bergantung pada usaha pemerintah dan seluruh warga negara sebagai komunitas. Pemerintah harus melibatkan pelestarian lingkungan dalam rancangan pemulihan ekonomi pasca-Corona, seperti Amsterdam.
Masyarakat juga harus mau mengganti gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Apakah kamu sudah siap? Isu lingkungan apa lagi yang ingin kamu bahas? Yuk, diskusi di kolom komentar!
In this post, we'll explore various HTML elements and how you can style them effectively…
Introduction to Styling in WordPress In this post, we'll explore various HTML elements and how…
Mengenal weton Rabu Pahing untuk laki-laki dan wanita, dari watak, rezeki, garis hidup dan jodoh…
Apa saja manfaat minyak zaitun untuk rambut rontok dan bagaimana cara penggunaannya? Yuk, simak penjelasannya…
Macam-macam kurma terbaik dan berbagai manfaatnya untuk kesehatan. Ada apa saja? Yuk, cek di sini.