Yuk, cari tahu soal flexing adalah bagian dari gaya hidup kekinian di sini!
Flexing adalah kata yang belakangan ini ramai masyarakat gunakan di media sosial. Sudah banyak fenomena terjadi dengan menggunakan kata flexing untuk memperlihatkan sesuatu. Tujuan dari ‘memperlihatkan’ itu umumnya berkaitan dengan memperoleh pengakuan, alias demi eksistensi.
Tidak hanya kebahagiaan bersama orang terkasih, aktivitas produktif, quote sedih atau motivasi yang diunggah ke media sosial. Namun, belakangan banyak masyarakat gemar memamerkan harta atau hal-hal yang berkaitan dengan materi. Bahkan, fenomena flexing tersebut sudah terbilang biasa dan umum.
Flexing menjadi kata yang populer beberapa pekan terakhir untuk mewakili perilaku tersebut. Oleh karena itulah, berdasarkan fenomena yang ada, arti flexing adalah memamerkan kekayaan, harta, dan ekonomi dalam taraf tertentu.
Tingkatan pamer bisa berpatokan kepada status sosial dan lingkungan orang tersebut. Umumnya merupakan barang ‘mewah’, punya brand terkenal, atau jarang orang lain miliki karena harganya sangat mahal. Misalnya, tas branded asal Eropa dari Dior, Prada, atau lain sebagainya.
Arti dan Asal Usul Kata Flexing adalah Apa?
Arti flexing menurut fenomena yang ada mempunyai makna tentang perilaku memamerkan kekayaan untuk eksistensi maupun tujuan lainnya.
Flexing berasal dari kata flex yang punya arti menunjukkan, mendemonstrasikan. Flex sebenarnya juga bermakna tentang perilaku melenturkan otot terutama ketika hendak berduel.
Menilik asal-usul kemunculan perilaku flexing yang punya kecenderungan memamerkan sesuatu, perilaku ini adalah fenomena yang sebenarnya harus masyarakat hindari. Sebenarnya sejak tahun 1990-an, istilah flexing sudah muncul untuk memamerkan keberanian atau menunjukkan sesuatu.
Tepatnya pada 1992 oleh rapper ICE Cube melalui lagu yang berjudul “It Was a Good Day”. Di dalam lirik lagu tersebut muncul kata flexing/flexin’.
Masih melalui lagu, kemudian setelah 2 dekade pada tahun 2014, kata flexing kembali muncul pada lagu Rae Sremmurd berjudul “No Flex Zone”. Yang mana mempunyai makna dan arti mirip dengan sebelumnya.
Pada intinya, arti flexing dari dulu sampai populer berdasarkan fenomena sekarang tidak jauh berubah. Secara ringkas bermakna tentang perilaku pamer kekayaan di media sosial, menunjukkan barang mewah, dan mengharapkan eksistensi atau pengakuan dari perilaku tersebut.
Dampak dari adanya flex culture adalah terbukanya berbagai macam peluang usaha untuk menyewakan barang-barang. Mulai dari sewa smartphone seperti iPhone, sewa motor dan mobil sports yang sudah umum, sewa sepatu branded, bahkan sewa tas-tas mewah!
Harga sewa iPhone 13 Pro Max, misalnya, dengan modal Rp100 sampai Rp400 ribu saja sudah bisa mendapatkan pengakuan di lingkungan pergaulan. Flexing juga orang gunakan sebagai pembentuk kepercayaan konsumen kepadanya.
Terbukanya peluang usaha ini, apakah menarik minat kamu untuk menyasar konsumen yang ingin mencoba menyewa barang-barang mewah?
Flexing adalah Tanda Seseorang Hidup Bahagia?
Sebuah pandangan lain mendefinisikan arti kata flexing dengan lebih radikal, yaitu untuk mendeskripsikan orang yang palsu, memalsukan kenyataan, atau memaksakan gaya dengan membesarkan gengsinya agar diterima di lingkungan pergaulan tertentu. Maka dari itulah sebaiknya sikap ini kamu hindari, ya.
Lantas, apakah ketika seseorang menunjukkan perilaku flexing itu adalah orang yang bahagia dan sejahtera? Jawabannya belum tentu.
Menurut pakar bisnis, Profesor Rhenald Kasali, seseorang yang punya perilaku flexing justru kebalikan dari orang yang kaya sebenarnya. Bahwa, orang kaya yang benar-benar memiliki, malah tidak ingin menjadi pusat perhatian dari masyarakat baik di lingkungan maupun media sosial.
Orang-orang sudah tahu bahwa dirinya kaya dan punya, tanpa harus menunjukkan kalau orang tersebut mempunyai banyak hal dengan flexing. Privasi menjadi fokus utama, biasanya semakin kaya seseorang maka ia tidak menghendaki semua orang tahu segalanya.
Lebih jauh lagi, bahwa flexing adalah salah satu strategi marketing untuk membangun kepercayaan dari konsumen atau klien. Fenomena flexing dalam marketing ini kerap terjadi di Indonesia. Kamu pasti sudah tahu untuk kasus yang mana saja, kan?
Pada intinya, seseorang yang flexing belum tentu benar-benar merasa bahagia dan sejahtera. Ada banyak hal yang perlu kita semua pahami, bahwa flexing sekadar mencari eksistensi di pergaulan, sikap konsumtif luar biasa, menunjukkan diri dengan cara mencolok, dan mendapatkan pengakuan serta status sosial.
BACA JUGA: Macam-macam Khiyar dan Contohnya, Etika Transaksi Jual Beli yang Perlu Kamu Ketahui
Apa Alasan Orang Memilih Flexing?
Ternyata, ada banyak alasan mengapa seseorang gemar melakukan flexing di media sosial. Terutama alasan yang berkaitan dengan sisi psikologis dari orang tersebut. Beberapa alasan melakukan flexing itu antara lain.
1. Mengatasi kesedihan
Dari sejumlah penelitian menunjukkan hasil yang mengejutkan, bahwa ketika seseorang merasa sedih, rendah diri, atau membutuhkan pengakuan. Mereka akan membeli barang-barang yang dianggap mewah untuk mengatasi kesedihan tersebut.
Martin Lindstrom melalui bukunya Brainwashed menjelaskan kalau orang dengan tingkat kepercayaan diri rendah, lebih cenderung mengandalkan penggunaan barang high-end. Sehingga kepercayaan dirinya akan meningkat saat itu juga.
2. Menunjukkan eksistensi
Menjadi alasan populer untuk mengatakan bahwa ‘saya bisa dan mampu’. Psikolog klinis Ratih Ibrahim mendefinisikan kebahagian seseorang lebih sering dimaknai oleh hal-hal yang bersifat materialistik dan eksistensi. Padahal, kebahagiaan tidak melulu bersumber dari itu, ya.
Kebahagiaan bisa muncul dari perasaan ikhlas, sabar, dan yakin kepada Sang Pencipta. Lagi pula jika kamu nyaman dan bangga terhadap diri sendiri, tuh, juga merupakan bentuk kebahagiaan tersendiri di era pamer ini.
Nah, khusus untuk orang yang bergerak di bidang marketing dan kemitraan, flexing tampak diperlukan untuk membangun kepercayaan konsumen. Eksistensi semacam ini sudah umum dan lumrah di Indonesia.
3. Mengikuti pergaulan lingkungan
Selain dari sisi internal orang yang punya perilaku flexing, alasan lainnya bersumber dari faktor eksternal. Lingkungan pergaulan yang memiliki gengsi tinggi menjadi alasan yang umum. Sehingga orang tersebut akan mengikuti standar pergaulan agar bisa diterima dengan baik.
Padahal ketika mengikuti lingkungan yang salah justru menjadi tidak tenang. Kita seperti terkejar oleh sesuatu yang sebenarnya sama sekali tidak kita inginkan. Untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian dalam menjalani kehidupan, relasi sosial yang tepat sangatlah penting.
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat kita ketahui kalau faktor-faktor penyebab flexing adalah sangat banyak dan merupakan suatu sikap yang kurang baik dan sebaiknya kamu hindari. Kamu punya informasi lainnya mengenai fenomena flexing ini? Coba bagikan di kolom komentar, yuk!
Kamu lagi cari kost eksklusif dengan kantor atau kampus mulai dari Rp1 jutaan? Yuk, pindah ngekost di Rukita saja!
Kamu bisa menemukan Rukita di berbagai area strategis, di Jabodetabek, Bandung, Surabaya, dan Malang. Fasilitasnya yang lengkap dan modern akan membuatmu merasa #SenyamanDiRumah.
Agar cari kost lebih mudah, kamu juga bisa gunakan aplikasi Rukita yang bisa diunduh di Play Store atau App Store. Mau tanya-tanya tentang kost Rukita? Bisa hubungi juga langsung ke Nikita (customer service Rukita) di +62 811-1546-477 atau kunjungi www.rukita.co.
Pastikan juga kamu jangan lupa untuk follow akun Instagram Rukita di @Rukita_indo dan Twitter @Rukita_id supaya nggak ketinggalan promo diskon dan update terkini!